Terlengkap Tips Agar Anak Taat Dengan Aturan
Salah satu pertanyaan yg banyak terlontar dari orangtua barangkali, Mengapa ada anak yg senang menuruti perkataan orangtua sementara yg lainnya sulit? Mengapa ada anak yg orangtuanya berkata “tidak boleh” sekali saja bahkan sambil senyum lalu anaknya tidak nangis, tidak teriak bersama tidak guling-guling meski orangtuanya menolak untuk memberikan mainan ataupun es krim?
Mengapa ada anak yg bisa dengan senang taat dengan aturan yg sudah pernah dibuat, namun ada anak yg lain tidak menaatinya?
Anak-anak yg tidak taat aturan disebabkan setidaknya beberapa faktor besar bersama kalau Anda menginginkan anak taat aturan, atasai penyebab-penyebabnya ini.
1. Aturannya berlebihan, terlalu tinggi, tidak sesuai usia anak
Sebagai contoh, melatih anak batita (bayi tiga tahun) untuk membereskan mainan setelah bermain adalah positif. Tetapi menetapkan aturan membereskan mainan sebagai kewajiban untuk anak batita adalah berlebihan. Sebab, mereka belum bisa memahami abstraksi dari tanggung jawab. sedangkan konsep berpikir mereka masih konkrit bersama sederhana. Melatihnya boleh, tapi memaksanya untuk membereskan bersama merapikan mainan sebagai sebuah aturan adalah berlebihan.
Atau contoh lain, meminta anak balita untuk sabar, padahal sudah pernah menunggu orangtua 2 jam ngobrol dengan temannya, tanpa balita ini melakukan kegiatan apapun juga berlebihan. Rentang pikiran bersama waktu anak-anak balita sangat pendek. Maka adalah hal yg normal kalau anak balita cepat bosan ataupun merasa pusing, capek, bersama akhirnya rewel kalau harus “nungguin” orangtuanya yg ngobrol dengan temannya selama 2 jam ataupun lebih tanpa melakukan kegiatan apapun.
Hal lainnya, kadang, sebagian orangtua makin sulit mengendalikan anak karena orangtua terus berfokus dengan perilaku anak bukan dengan kebutuhan anak. Saat anak rewel, sebagian orangtua terus-terus berusaha berkata “jangan rewel terus dong” bersama bukan mencari sebab mengapa anak rewel? Apa sih yg anak butuhkan sehingga dia jadi rewel?
2. Tidak Melibatkan Anak
Ini hukum universal dari pengambilan keputusan: seseorang bagi lebih benergi kalau dia melaksanakan keputusan yg dibuatnya sendiri. Seseorang bagi sangat sulit memerangi keputusan yg dibuatnya sendiri.
Pun demikian anak-anak, dengan saat anak sudah bisa diajak bicara, batasan-batsan, aturan-aturan, konsekuensi bersama seterusnya yg terbaik adalah yg melibatkan anak dalam pengambilan keputusan tersebut. Anak bagi lebih bertenaga melakukannya. Anak bagi malu kalau tidak melakukannya. Anak bagi lebih terpacu melakukannya.
Mengajak anak bicara tidak berarti kita menuruti semua yg anak inginkan. Mengajak anak bicara berarti membuka ruang ide dari anak yg rasional bersama penerimaan lebih senang untuk anak. “Menyimpan handuk itu dengan tempatnya. Jika tidak dengan tempatnya, handuk itu bisa cepat kotor, lembab bersama akhirnya jamuran. Yang rugi kamu sendiri kan? Coba kasih tau Mama, apa yg ingin kamu lakukan agar kamu selalu ingat untuk menyimpan handuk dengan tempatnya?”
Mengajak anak bicara berarti mencari solusi-solusi konkrit bersama solutif untuk menyelesaikan masalah-masalah dari perilaku anak sebelum mengedepankan hukuman-hukuman.
Atau contoh lain “Kalau mama lagi di Supermarket, kadang Mama harus memilih belanjaan yg banyak jadi butuh waktu banyak. Kalau kamu ikut Mama ke supermarket, berarti kamu harus menunggu. Nah biar kamu tidak bosan saat menunggu, kasih tau mama, ada ide tidak biar kamu tidak bosan”.
3. Tidak disertai konsekuensi
Setiap aturan agar ditaati membutuhkan konsekuensi. Aturan tanpa konsekuensi, bagaikan macan tanpa gigi. Aturannya sudah dibuat, tapi tanpa disertai konsekuensi, tentu saja tidak berdampak apapun. Misalnya, membatasi anak nonton tv 2 jam sehari. Lalu tidak ada konsekuensi apapun kalau anak melebihi batas yg sudah ditentukan? Apa yg kira-kira terjadi. Anak-anak bagi terus melanggarnya. Bahkan ada konsekuensi saja bisa dilanggar, apalagi tanpa ada konsekuensi.
Jika tidak ada konsekuensi, saat anak melanggar batas nonton tv, apa yg bagi orangtua lakukan? Ngomel lagi, lagi bersama lagi. “Harus berapa kali mama bilang, nonton tv itu nggak boleh lama-lama!” ataupun “Kamu dengar nggak sih mama ngomong?” ataupun “kenapa sih kalian nggan patuh sama aturan yg mama buat?”
Berbeda kalau ada konsekuensi, meski tidak otomatis membuat anak langsung taat (karena bergantung konsistensi kita orangtua), maka anak bagi merasa kerugian kalau mereka mencoba melanggarnya. Nonton tv boleh, batasannya 2 jam, itu aturan. Konsekuensinya misalnya, yg melanggar batasan, melebihi 1 menit saja dari waktu yg sudah ditentukan, maka hak nonton tvnya dicabut selama 2 hari. Ini memiliiki perbedaan dengan aturan yg tidak memiliki konsekuensi sama sekali.
Contoh lain, anak berleha-leha bangun, malas-malasan bangun. Sudahkah ditentukan aturan paling lambat jam berapa bangun? Lalu bagaimana pula cara membangunkan anak? Jika membangunkan anak dengan teriakan, kepusingan, ketergesa-gesaan, tekanan, itu hanya bagi membuat anak tertekan bersama akibatnya malah pusing bersama tambah rewel. Tapi berbeda kalau membangunkan anak dengan cara yg membuat dia exciting bangun: didengarkan musik, bunyi-bunyian yg menyenangkan, didengarkan suara-suara Qur’an, diajak bicara, ngobrol tentang kesukaannya, dst. Lalu dilengkapi dengan ketegasan, konsekuensi-konsekuensi kalau bangun melebihi jam sekian. Dst..
4. Inkonsisten
Ketidakpercayaan bagi menyulitkan seseorang untuk melaksanakan apa yg diminta. Orangtua yg berbohong dengan anak, orangtua yg inkar janji dengan anak adalah orangtua-orangtua yg tidak bagi pernah senang lagi dipercaya anak perkataannya.
Orangtua yg melegalkan kebohongan bersama ingkar janji dengan anak adalah orangtua yg tidak sesuai antara perkataan bersama perbuatan. Bagaimana mungkin bagi mempercayai bersama mematuhi orangtua sementara perkataan orangtua sendiri tidak bisa dipegang?
Kata siapa berbohong dengan anak itu boleh bersama legal (tidak dosa?). Ulama mana yg menyebutkan berbohong dengan anak itu adalah hal yg mubah ataupun boleh?
Perilaku tidak sesuai orangtua dimulai dari hal sepele seperti saat anak ingin beli mainan waktu berkunjung ke supermarket, lalu orangtua menolaknya. Saat ditolak orangtua, apakah anak-anak bagi langsung nurut begitu saja? Tidak dong! Ia bagi mencoba “berikhtiar” untuk terus mewujudkan keinginannya. Usaha anak yg minimal dilakukannya adalah memasang muka cemberut, merengek ataupun menangis.
Lalu apa yg orangtua lakukan saat anak cemberut, merengek bersama menangis? Jika orangtua memberikan apa yg diminta anak padahal tadi menolaknya “ya sudah sekarang boleh, nanti lagi nggak boleh kayak gitu. Kalau nanti seperti itu lagi, mama tinggal lho!”
Apakah di masa yg bagi datang perkataan orangtua seperti itu membuat anak tidak bagi mengulanginya lagi? Dijamin 100% justru orangtua sendiri yg mengundang anak mengulanginya lagi, lagi bersama lagi. Bahkan saat di waktu lain orangtua berusaha konsisten, justru anak menambah “kualitas ikhtiar” untuk mewujudkan keinginannya, tidak hanya menangis tapi juga: berteriak, melengking, selonjoran di lantai, guling-guling, melempar barang, memukul orangtua. Dan ketika orangtua tidak tahan akhirnya orangtua mengatasinya dengan dua cara shortcut: mencubit anak hingga berhenti ataupun memenuhi keinginan anak yg tadi ditolaknya (lagi).
Mencubit anak mungkin berbahaya, tapi tahukah parents, justru yg kedua: memenuhi keinginan anak yg tadinya kita tolak, justru jauh lebih berbahaya! Sejak saat itu, anak tidak senang lagi bisa mempercayai apapun yg dikeluarkan oleh lisan orangtuanya. Akhirnya mengundang upaya orangtua lebih keras. Akhirnya orangtua pun dipancing untuk melakukan tindakan lebih keras: semakin sering membentak, semakin sering mengancam anak bersama semakin sering menghukum anak.
Karena pengalaman anak yg seperti ini pula, tidak jarang saya menemukan kejadian, seorang guru di sekolah lebih sulit mengendalikan anaknya sendiri yg di sekolah tempat dia mengajar dibandingkan mengendalikan anak lain. Atau seorang ustadz/ustadzah yg mengajar ngaji, lebih senang mengendalikan santrinya yg lain dibandingkan anaknya sendiri.
Atau kalau pun Anda bukan guru, sebagian anak yg orangtuanya bukan guru, justru lebih mempercayai gurunya sendiri dibandingkan orangtuanya. Pernahkah Anda mendengar orangtua yg menakuti-nakuti anaknya karena tidak nurut dengan perkataan semacam ini “Mama bilangin lho sama Bu Guru, kalau kamu nggak mau mandi?” Dan sekonyong-konyong ada anak yg langsung nurut begitu saja ketika orangtua ‘menjual’ gurunya agar anak nurut.
Mengapa ada anak yg lebih menuruti perkataan gurunya daripada orangtuanya? Ya penyebab terbesar adalah bahwa gurunya memang punya kredibilitas lebih dibandingkan orangtuanya. Bukan soal kredibilitas kompetensi ilmu, bukan, bukan itu. Tapi lebih kepada kredibilitas konsistensi antara perkataan bersama perbuatan. Anak-anak yg lebih senang nurut gurunya daripada orangtuanya pastila anak-anak yg memiliki pengalaman inkonsisten sebelumnya dengan orangtuanya.
Jika Anda seorang guru, maka kalau sudah ‘terlanjur’ anak punya pengalaman inkonsisten dengan orangtuanya, usul Abah, adalah hal lebih baik kalau kemudian anak kita ‘dimutasi’ di sekolah lain ataupun di tempat lain. Jika Anda orangtua yg mengalami kejadian anak yg lebih nurut gurunya, saatnya untuk introspeksi. Anda harus merasakakan “sakit hati” dalam artian positif. Dalam artian bagaimana caranya anak justru harus mulai lagi nurut bersama percaya dengan orangtuanya dibandingkan dengan siapapun.
Mulai hari ini jangan pernah lagi berbohong dengan anak. Jangan sembarangan mengumbar janji untuk sekadar meredakan kerewelan anak kalau Anda tidak berniat benar-benar mewujudkan janji itu.
5. Ketidaktegasan
Aturan bersama batasan sudah disepakati, konsekuensi sudah disiapkan bersama orangtua pun tak pernah berbohong bersama inkar janji. Apakah anak langsung nurut begitu saja saat orangtua berusaha menghentikkan perbuatan buruk anak melalui nasihat bersama perkataan?
Modal besar agar anak-anak kita bisa taat aturan bersama batasan-batasan terhadap nilai-nilai yg kita anut di keluar agalah: ketegasan! ? Tanpa ketegasan, aturan hanya semacam formalitas semata. Terlalu banyak Peraturan Daerah (perda) hanya sampai diputuskan, tapi berapa banyak yg dilaksanakan?
Sebagai contoh banyak kota besar di Indonesia punya perda larangan merokok di tempat umum. Jakarta, Bandung, dst. Silahkan Anda tunjukkan kepada saya, mana yg dilaksanakan? Ketika tidak disediakan perangkat untuk menegakkan perda itu, maka tidak bagi pernah ketegasan. Ketika tidak ada ketegasan, maka jangan harap masyarakat mau melaksanakan.
Saya sering bertanya kepada peserta seminar bersama pelatihan yg sering saya lakukan bersama bagi saya tanya juga kepada Anda: menurut Anda, sebagian besar orang disiplin ataupun tidak? Berlalu lintas, membuang sampah, ataupun perilaku-perilaku yg berhubungan kepentingan publik lainnya sejenis ini?
Terserah Anda, tidak tahu bagaimana pendapat Anda. Yang jelas, ketika saya tanyakan ini kepada ribuan orang. Jawaban hampir 100% dari mereka adalah: sebagian besar orang Indonesia tidak disiplin!
Saya tidak setuju dengan pendapat ini. Menurut saya, Anda boleh tidak setuju tentu, sebagian besar orang Indonesia sangat disiplin. Tapi, ada tapinya, ketika berada di Jepang, ketika orang Indonesia berada di Singapura. Hehehe.
Ih maafkan saya kalau dianggap tidak serius. Tapi sungguh saya serius. Mengapa ini terjadi? Mengapa orang Indonesia kalau di luar negeri justru jadi bisa disiplin? Di sana ada aturan? Di Indonesia memang tidak ada? Di luar negeri ada konsekuensi? Memangnya setiap undang-undang bersama perda yg dibuat di Indonesia tidak disediakan konsekuensinya? Ada lho! Budaya bersama lingkungan orang luar negeri sudah bagus? Lho yg membentuk budaya bersama situasi lingkungan itu siapa sih? Jadi kita menunggu kita sendiri dibentuk budaya bersama lingkungan yg lagi tren?
Ya sudahlah, saya tak mau bicara soal yg muluk-muluk ngurus negara. Saya hanya mau memberi contoh saja untuk kita gunakan untuk menguru keluarga. Tanpa ketegasan orangtua tidak mungkin dipatuhi anak. Tapi ketegasan tidaklah sama dengan kekerasan, ketegasan tidaklah sama dengan banyak ngomong.
Penyakit orangtua saat anak berbuat buruk adalah banyak ngomong, banyak bicara bersama akhirnya jadi banyak emosi. Pertanyaan seberapa efektif omongan bersama nasihat bagi didengarkan anak untuk menghentikkan perbuatan buruk mereka?
Justru yg terjadi adalah, kalau kita hanya ngomong doang, energi kita bagi terkuras bersama kita jadi stress sendiri karena memang kenyataannya hanya kurang dari 10% anak2 saat berbuat buruk lalu dihentikan dengan omongan bagi berhenti. Akibatnya, banyak orangtua terus-terusan ngomelin anak "harus berapa kali sih mama bilang?! kamu denger gak sih? Nyimpen sepatu itu dengan tempatnya!"
Dan mungkin, karena banyak ngomong, kita bagi menyesal dengan omongan-omongan kita. Sebab saat tengah emosi, omongan kita bagi kemana-mana.
Jadi apa yg harus dilakukan? Banyak bertindak, bersama bukan banyak ngomong! Saat anak berbuat buruk rumusnya adalah banyak bertindak bersama bukan banyak bicara. Sebaliknya, saat anak beruat baik, banyak bicara adalah positif.
Tindakan seperti apa? Berikan aturan yg jelas bersama berikan konsekuensi yg spesifik lalu tegakkan! Tegakkan aturan berarti, Anda tega, tegas, istiqomah bersama sesuai bersama tidak terpengaruh dengan tangisan, kerewelan, rajukan, intimidasi anak saat anak mencoba menegakkan aturan itu.
Ketika kita menegakkan aturan, tidak ada istilah “cinta damai”, kalau melanggar bisa damai! Dengan sogokan bersama lain-lain. Pun demikian juga dengan anak "kamu setuju tidak hukuman yg mama berikan?" Meski anak menolak, kalau sudah di awal dikomunikasikan, disosialisasikan, maka tegakkan! Karena itu ketegasan berarti penerapan konsekuensi tidaklah bergantung dengan penolakan ataupun persetujuan anak.
Mana hadir anak yg mau dihukum? jangankan anak, tidak ada satu pun manusia dewasa yg mau dihukum. Ketika polisi menilang orang yg melanggar lalu lintas tidak mungkin polisi memberi penawarn semacam ini "Anda ikhlas saya tilang?" ataupun ketika penjahat dipenjara pengadilan gak mungkin meminta persetujuan penjahat untuk memenjarakan dia. Atau Tuhan kita saat di pengadilan akhirat kelak, akankah berkata dengan kita “bagaimana manusia, apakah kalian bersedia dimasukkan ke neraka?”
Karena itu, saat anak menolak diberikan hukuman tentu saja adalah hal yg normal. Tak ada satu pun anak yg mau menerima denga ikhlas dihukum sebagaimana kita tak ada satu pun yg mau ikhlas membayar denda tilang, dst. Tapi itulah fungsi kita orangtua untuk menegakkan rule of the games di keluarga. Fungsi rule kadang memang harus memaksa meski tidak semuanya dengan cara memaksa. Karena itu, ketika anak menolak, penerapan konsekuensi sama sekali tidak bergantung dari disetujui ataupun ditolak anak. Ketika kita menerapkan “no go outside” karena anak melanggar sebuah kesepakatan, ya kunci pintu rumahnya, meski anak menangis, menolak, ya biarkan.
Ketika kita menerapkan no watching tv, ya matikan tv, sita kabelnya meskipun anak sampe meraung, bahkan menghancurkan tv tetap tidak ada tv. Cuma klo sudah merugikan penolakannya, seperti sampai merusak tv, anak harus diberikan konsekuensi tambahan lebih berat.
Tapi ini hanya bagian rendah untuk menghentikkan perbuatan buruk anak. Bagian besar bukanlah dengan soal reward and punishment. Jika hanya mengelola reward punishment, percayalah hubungan orangtua bersama anak bagi garing! Bagian besar lain: bonding orangtua dengan anak, kerelaan waktu orangtua untuk menginstallkan fikroh anak dengan nilai-nilai baik, adalah hal-hal lebih besar lain yg dilakukan untuk anak agar mau berbuat baik bersama semakin terhindar dari berbuat buruk.