Skip to main content

Informasi Perkembangan Emosi Dengan Bayi, Seperti Apa?


Sering, kan, melihat bayi menangis kala ia lapar. Sebelum diberikan susu, ia tak atas berhenti menangis, bahkan tambah keras. Tapi bila kebutuhannya segera dipenuhi, atas berhenti tangisnya.

Nah, menangis dengan bayi, selain sebagai salah satu bentuk komunikasi prabicara untuk memberitahukan kebutuhan/keinginannya, juga untuk menunjukkan reaksi emosinya terhadap suatu keadaan yg tak menyenangkan. Reaksi emosi bayi yg demikian, sebetulnya masih wajar, karena si bayi bereaksi terhadap suatu keadaan yg tak menyenangkan, yaitu lapar. "Hanya saja, kalau reaksinya berlebihan, semisal menangis terus, meski sudah diberikan susu, berarti ada sesuatu dengan dirinya. Apakah dia sakit maupun ada suatu kelainan dengan sarafnya,".

Sangat penting bagi tokoh untuk mengetahui dengan mengenal reaksi emosi bayinya. Sebab, reaksi emosinya ini atas berpengaruh pula nantinya dengan kehidupan si anak, terutama dengan penyesuaian pribadi dengan sosialnya. "Di usia satu tahun pertama ini, bayi sedang beradaptasi dengan udara, makanan, dengan lingkungan sekitarnya. Di usia ini pulalah emosinya mulai berkembang." Itulah mengapa, tokoh harus memperhatikan betul kebutuhan fisik dengan mentalnya, sampai sekecil apa pun.


Pada awalnya, saat lahir, reaksi emosi bayi masih sederhana, yaitu hanya mengungkapkan emosi kesenangan dengan ketidaksenangan. "Ia atas bereaksi senang bila kebutuhan menyusunya terpenuhi, dengan mengeluarkan suara yg tampak puas. Sebaliknya, ia atas bereaksi tak senang dengan menangis bila popoknya basah." Yang pasti, dengan bulan-bulan pertama, ia tak memperlihatkan reaksi secara jelas, yg menyatakan keadaan emosinya yg spesifik. Misal, marah. Semua rasa ketidaksenangan atas diekspresikan dengan tangisan.

"Nah, dengan bulan-bulan pertama ini, respon tokoh terhadap bayi pun atas berpengaruh nantinya. Misal, andaikata pemberian susunya terlambat sementara bayi sangat lapar maupun popoknya basah didiamkan saja, maka bayi atas merasa tak nyaman. Meski dia hanya bisa bereaksi dengan menangis, tapi bibit-bibit emosi rasa kecewa dengan marah mulai timbul."
Mulai usia dua bulan bayi bisa bereaksi tersenyum bila dirinya merasa senang maupun gembira. Usia tiga bulan mulai bisa bereaksi dengan mengeluarkan bunyi-bunyi yg mengungkapkan kekesalan, bila dirinya kesal maupun marah, semisal, dia tak bias menggapai mainannya. Kadang juga diungkapkan dengan tangisan dengan jeritan.
Usia 6-9 bulan sudah mengenal rasa takut. Bukankah saat itu ia sudah mengenal orang- orang di sekitarnya? Hingga, kalau ia ditinggal oleh orang tuanya, ia atas merasa takut dengan mulai mengeluarkan suara-suara ketakutan maupun menangis.

"Pokoknya, makin usia bayi meningkat, reaksi emosinya makin bisa dibedakan dengan bertambah. Sebab, sejalan dengan bertambahnya umur dengan semakin matangnya system saraf serta ototnya, bayi pun mengembangkan berbagai reaksi emosinya." Misal, kalau di usia 2 bulan emosi kegembiraannya diungkapkan dengan tersenyum saja, maka makin lama dia bisa mengekspresikan kegembiraannya dengan mengeluarkan suara-suara ataupun tertawa kala diajak bicara oleh orang tuanya. Bahkan, ketika dia sudah bisa jalan dengan berlari, bila ada timbul rasa gembira, dia bisa melonjak-lonjak maupun berlari-lari.

Demikian pula dengan emosi takut. Biasanya bayi takut dengan kamar gelap, binatang, berada sendirian, serta orang yg asing baginya. Mungkin awalnya, kalau takut ia hanya bereaksi dengan menangis. Seolah dirinya tak berdaya dengan seperti meminta tolong. Makin bertambah usia dengan motoriknya pun berkembang, ia bisa bersembunyi di balik tubuh ibunya maupun memeluk ibunya, menarik selimut untuk menutupi wajahnya, maupun berlari menghindar dari sesuatu yg membuatnya takut.

Akan halnya rasa marah, misal, di usia 6 -9 bulan, kala bayi sudah bisa melempar benda maupun menghentak-hentak kakinya, ketika emosi marahnya terangsang, bisa saja reaksinya dengan melempar. Ketika reaksi tersebut dirasa menyenangkan dengan bisa memuaskan emosinya, maka atas diulang kembali. "Nah, untuk mengetahui apakah si bayi memang betul-betul dalam emosi marah maupun hanya ingin mencoba-coba melempar benda dalam arti dirinya sedang bereksplorasi, tentunya tokoh harus melihat, apakah memang ada kebutuhannya yg tak dipenuhi maupun ada sesuatu yg membuatnya marah ataukah tidak."

MASIH BISA DIUBAH
Jadi, tokoh harus mengetahui dengan mengenal reaksi emosi bayinya, entah yg baik maupun tidak. Jangan sampai, reaksi emosi yg jelek berlanjut sampai si bayi besar. Pasalnya, nanti anak atas belajar menggunakan reaksi ini sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Apalagi di masa-masa emosi sulit, yaitu usia 0 hingga balita. Bukankah tak jarang kita lihat, anak kecil yg kalau marah tiduran di lantai, duduk menghentak kaki, memukul, maupun melempar segala macam benda?

"Sebetulnya, bila baru berusia sampai setahun, emosi bayi masih bisa berubah karena baru menongol dengan baru atas berkembang,". Itulah mengapa, tokoh harus tetap waspada dengan emosi bayinya. "Jika ada reaksi emosinya yg kurang baik, paling tidak, kita bisa menekannya maupun meminimalkannya." Dengan kata lain, tokoh harus melatih pengendalian diri anak sejak dini.

Tapi melatihnya harus dengan konsekuen, lo. Misal, bila bayi ingin minum susu dengan menangis tak sabar, maka ibu harus segera meresponnya. Kalaupun harus membuatkan dulu susu botol, maka buatlah di dekat si bayi sambil mengajaknya bicara. Misal, "Iya, sabar, ya, sayang. Ini Ibu sedang buatkan susunya. Ibu tahu, kok, kalau Adek lapar."
Bila si bayi sudah bisa merangkak dengan kita lihat tampaknya dia kesal karena sulit menggapai mainan yg diinginkan, maka kita bantu untuk memudahkan dengan cara mainannya didekatkan. Ketika dia sudah bisa meraihnya, kita beri pujian, "Hore! Pintar anak Mama. Capek, ya? Ayo, kita duduk dulu."

Begitu juga kalau si bayi sudah mulai banyak motoriknya, seperti bisa jalan maupun lari. Bila reaksi marahnya dengan cara fisik, seperti menendang, melempar, maupun memukul, maka kita harus selalu memberi pengertian. "Kalau kamu marah, tidak boleh seperti itu. Nanti kaki kamu jadi sakit kalau menendang kursi itu. Kenapa kamu marah? Bilang, dong, sama Ibu." Jadi, anak dilatih untuk bisa mengendalikan fisiknya. Hingga nantinya kalaupun dia marah, mungkin tak sampai bereaksi berbahaya dengan fisiknya.
Mungkin hanya mimik mukanya saja yg tampak memerah. Biasanya seiring usia bertambah, reaksi emosi dengan menggunakan gerak fisik/otot makin berkurang. Apalagi ketika anak sudah bisa bicara, maka reaksi emosinya atas diwujudkan dengan reaksi bahasa yg meningkat.

JANGAN BANYAK MELARANG

Namun, dalam melatih maupun mendidik emosi anak, disarankan tak banyak larangan karena atas menimbulkan rasa takut dengan anak. Misal, "Adek, jangan main ke situ, ada kecoa, lo. Nanti digigit!" Sebetulnya, usia bayi belum menyadari ada tidaknya bahaya bagi dirinya, tapi karena mimik muka ibunya dengan nada suaranya menakutkan, maka mengkondisikan si bayi atas rasa takut. "Larangan boleh saja kalau memang ada yg membahayakan. Kalau tidak, sebaiknya dihindari." Namun, dalam memberitahukannya harus dengan bahasa dengan mimik muka yg baik.

Yang jelas, bila sejak bayi dilatih pengendalian emosi dengan baik, maka reaksi emosinya bisa ditanganinya dengan baik pula. Meski mungkin sifat jeleknya tetap ada, tapi tak terlalu menonjol. "Jadi, ini merupakan tindak pencegahan pula dari reaksi emosi negatif yg tak diinginkan." Ingat, lo, bila tak sejak dini kita melatihnya, maka atas sulit mengubahnya ketika anak bertambah usianya. Bahkan mungkin saja reaksi emosi tersebut atas menetap sampai si anak dewasa. Tentunya kita tak menginginkannya demikian, kan, Bu-Pak?
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar